Seri – Ekonomi Indonesia [1]

MENYELESAIKAN MASALAH APA?

What do you really want to solve? Sebuah kalimat keluar dari seorang berusia 65 tahun yang pada bulan juni tahun 2017 kemarin berdiskusi panjang dengan saya di bilangan apartemen pakubuwono. Dia tingal 2 bulan di Jakarta dan balik kenegaranya lalu kemarin selama 5 hari dia kembali ke Jakarta.

Saya tuliskan komentarnya bahwa BUMN menurutnya sumber kegagalan Negara ini “take off” karena Negara menggunakan BUMN sebagai leverage proyek. Sehingga tahun 2017 ini anggaran Negara bengkak dan menyebabkan hutang baru lagi di terbitkan. Tulisan tersebut banyak saya bahas yang lalu.

Kalimat di atas terjadi ketika kami diskusi mulai dari jam 7 malam sampai subuh jam 4 pagi, setiap hari minggu ini, walau saya tidak bisa ikut tiap malamnya namun yang pasti komisaris dan hampir seluruh jajaran stake holder kami gantian menemaninya.

Dia melanjutkan, you know what, train from Jakarta banyuwangi, successfully carry people but return (occupation) from banyuwangi to Jakarta nearly empty. Sehingga beban kereta api berat yang menangung beban adalah Jakarta Surabaya banyuwangi (berangkat).

Ini masuk dalam benak saya, sehingga menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan saya yaitu pada saat kalian membangun jaringan kereta api itu “what you are trying to solve?”. Apakah kalian itu mau menyelesaikan masalah “human mobility atau meningkatkan produktifitas?”.

Kalimat nya yang menohok begini adalah cirinya. Dan dia bukan saja menohok kalimatnya, dia selanjutnya selalu memberikan solusi, dan kami selalu terbengong bengong dengan “ternyata gampang solusinya”.

Tetapi mengapa ini bule yang melihat masalah? Apa kita ngak bisa? dan mengapa juga dia tahu jawabnya sehingga peluang bisnisnya di ambil dia. Sebagai catatan, bisnis yang sukses adalah bisnis yang banyak menyelesaikan masalah “banyak orang”.

Gojek menyesaikan masalah kemacetan jakarta dalam hal pesanan makanan untuk wanita karena datanya adalah MVP gojek, most viable product gojek adalah go food. Profit datang dari go food hampir 70% kontribusinya di gojek dan 80% pengguna go food adalah wanita.

Facebook menyesaikan masalah “connectivitas manusia”. Google menyelesaikan masalah “mencari informasi”. Dan pebisnis senior 65 tahun tadi pandai sekali melihat masalah dan mempunyai solusi.

Misalnya saya kembali banyak berdalil masalah “daya beli turun”. Saya punya beragam jawaban bahwa “memang turun” dan melawan teori pakar yang lain. Tetapi senior ini memiliki pemikiran lain. ini yang saya kagum, saya pikir saya sudah cover banyak sisi, ternyata dia masih juga bisa melihat sisi yang saya tidak lihat di dalam menganalisa.

Dia bertanya balik kepada saya, daya beli turun?, daya beli siapa? Daya beli Franky wijaya (pemilik sinarmas) apa daya beli supir metromini dan angkot?

Saya terkaget dengan cara dia menjawab analisa saya dengan pertanyaan mendasar. Kalau daya beli franky wijaya turun “emang gue pikirin” biarin aja. Kalau konglomerat yang turun biarin aja, itu bsinis as usual. Tetapi kalau rakyat yang merasakan, wah itu salah pemerintah!!!

Dari cara dia bertanya balik ini, artinya dia memahami masalah. Lalu dia menjawab, selama pendapatan bisa “menutupi” inflasi maka orang tersebut daya belinya tidak turun!. Ini jawaban pintar, asli tajam jawabnya.

Yang saya mencoba berargumen, saat ini di Indonesia inflasi rendah namun pendapatan turun di kelas bawah. Maka daya beli kelas bawah, melemah.

Lalu solusi kamu apa? dia tanya balik. What do you really want to solve now?.

Saya kembali terdiam dengan kenyataan pertanyaannya. Dan dia jawab sekarang, untuk meningkatkan “pendapatan” pemerintah mu melakukan “kenaikan upah buruh” atau UMR, betul? Dengan harapan kenaikan tersebut meningkatkan “pendapatan” menutup inflasi.

Namun ada hal yang tidak di lihat disisi lain.

Dia berkata sambil menghentikan bicaranya karena membetulkan posisi duduk dan mengambil panganan tape goreng yang menjadi makanan favoritnya sekarang.

Kenaikan pendapatan jangan melihat dengan pendekatan inflasi seperti saat ini kalian melihatnya, salah besar. Kenaikan pendapatan niatnya untuk menutupi inflasi, tetapi kalau tidak di iringin kenaikan “produktifitas” maka bukan pendapatnya naik (bener sevcara angka), namun malah memicu inflasi naik juga. Sehingga pendpaatan naik, namun harga barang ikut naik.

Ini tidak dilihat dengan seksama, bahwa gajih besar UMR tidak sebanding dengan produktifatas per “man hour” di Indonesia. Ini membuat banyak manufaktur tidak tumbuh dan tidak berkembang baik 3 tahun ini.

Lalu, apa solusinya? Saya bertanya . diapun bercerita dengan latar belakang “onion ring theory”. Sebuah solusi sangat sederhana, baik untuk Negara, baik untuk buruh dan baik untuk pengusaha. Say a mantuk mantuk setuju mendengar paparanya yang mencerahkan tersebut. Ok sahabat maaf saya tidak tuliskan paparanya, karena saya tahu sedikit peminat tulisan beginian, sering hanya dianggap angin lalu jadi lain kesempatan aja untuk yang minat ya

Leave a comment