Seri – Ekonomi Indonesia [3]

MATA RANTAI PRODUKSI DI ABAIKAN

Menarik kalau yang komentar adalah fans berat pemerintahan sekarang, apa istilah nya cebongers ya. Segala tulisan saya di anggap melawan pemerintah. Yo wis, sak karepmu. Lah wong saya berkali-kali nanya apakah tulisan saya seri ketiga ini harus di lanjutkan? Ngak ada gunanya langsung loh? Ehh malah di komen di isi dengan pujian suksesnya jokowi panjang lebar seakan tulisan saya salah karena mentang pemerintah semua. Emang pengaruh buat saya memuji jokowi? Ya ngak lahhahaha

Saya ini hanya merasa kita bangsa Indonesia ini jadi besar dan lebih berjaya dan berdaulat. Sudah lama kita ini di nina bobokan dengan propaganda. Saya ingin melihatkan dari sisi lain. Bukan menantang “hagemoni” jokowi dan orang pinter di sekitarnya. Dan semua orang tahu, saya anti LBP dan saya anti Rinso dalam policy kebijakan ekonomi. Cuma itu tok.

Saya anti BUMNisasi, saya anti direct investment china untuk pembangunan. Jelas ya. Saya tidak anti infrastruktur jokowi, saya anti infrastrukturnya pakai direct investment china. Saya anti pakai BUMN nya. Saya mengeluh swasta tidak di garap dan dipermudah, saya complain keringnya peredaran uang di kelas menengah dan kelas atas. saya komplain keras ke pemerintah yang tidak pro UKM dan tidak pro pengusaha. Itu saja.

Lalu sekarang saya buka mengapa ekonomi istana beda mikirnya dengan pengusaha lapangan. Agar mengerti mengapa kelas menengah dan kelas atas yang mengecil/mengkerut menjadi turun pendapatannya tidak juga di bantu. Saya ingin membuka wawasan dari kacamata pengusaha lapangan.

Maka pertanyaan mendasar adalah bagaimana melihat statistic yang di pakai Negara kita sekarang.
Jawab pertanyaan mendasar dari si senior ini, in your country, how you calculate data. By income approach or by spending approach?

Begitu di Tanya begini maka data yang saya pasti tahu adalah kita menghitung menggunakan pemenuhan 9 bahan pokok,beras, gula, minyak dan lain sebagainya sembako, jadi kita spending approach, itu jawaban saya.

You are right. Dia melanjutkan, Negara kaya biasanya menggunakan spending approach seperti arab, brunai, namun Negara pruduksi menggunaklan income approach yaitu eropa, jepang, australias, amerika. Ini menyebabkan membangun infrastruktur seakan solusi distribusi selesai. Karena spending approach terlihat “mengecil” (biaya tranportasi) padahal distribusi hanya salah satu dari “chain production”.

Dalam chain production, tranpsortasi itu bermacam lagi, darat, laut, udara. Darat itu apakah mass tranportation (train) atau trucking atau mini vehicle, laut ada (ro-ro) hanya melayani dua arah bolak balik dan ada yang sircular memutar terus. Saat ini tarnsportasi laut, Arus barang barat timur selalu penuh arus timur barat kosong.

Jarang bisa bolak balik penuh karena produksi di sisi barat Indonesia , baik dari raw material (karena port of import terbanyak di tanjung priok) ataupun usnur lain karena tidak ada design Negara dalam manufaktur dan industri.

Jadi sekali lagi, jalan tol, atau infrastruktur darat hanya salah satu “point of distribution”. Unsur lain seperti bahan baku, SDM produktif, permesinan, pergudangan itu semuaadalah mata rantai produksi atau “chain production”.

Kata Dany Rodrick Negara tanpa indutri mustahil bisa growth! Ini semua di karenakan “premature industrialization”. Ok hak seperti Ini nanti satu seri sendiri kita bicarakan. Dan kita harus menyelesaikan banyak hal yang selama 72 tahun memang tidak terjamah, mengapa? lah memang karena ngak faham geostrategic. Jadi muter-muter saja ngak ada solusi. Lah memang para menterinya ngak pernah ikut lemhanas. Doctor sih gelarnya semua tapi ..? yow is lah ngak usah di komentari.

Ok kita cari solusi sekarang. Si senior itu bertanya lagi. Dia bertanya, kalau ada sebuah lahan di tengah Kalimantan, katakan di daerah Pontianak. Ada lahan mengandung bentonite. Lalu wilayah itu di keduk diam diam dan keluar barangnya menggunakan tongkang dari pelabuhan terpencil. Harta kita di colong oleh pengusaha asing. Marahkah anda?

Ya, pasti kita marah. Itu jawaban saya.

Sekarang, kamu mengerti global value chain ngak? Chain produksi ada yang local ada yang internasional, bener bukan?

Australia misalnya, untuk mengirim barang ke jepang lewat mana? Lewat selat Sumbawa, lewat selat makasar. Dan kira-kira ongkosnya sampai jepang 6-7% biaya produksinya. Coba bayangkan kalau dia tidak boleh lewat Indonesia, mereka memutar lewat utaranya papua, ongkos mereka bisa naik jadi 11%an.

Jepang mau kirim barang ke india, lewat Indonesia deggan biaya 11%an ongkos produksinya. Kalau mereka tidak boleh lewat Indonesia, mereka memutar lewat Australia maka biayanya bisa 20%.

Pertanyaan, berapa yang Indonesia dapat “value added” dari global value chain karena di lewati kapal niaga senilai 2000 triliun dolar pertahunnya dari jepang, korea, china, australia? NOL BESAR!!!! Mengapa? Karena kalian tidak mengerti Global value chain!!!

Singapura yang dapat? Oh tidak, singapura itu hub. Indonesia itu “cross section”, ngerti bedanya. Ngak khan? Lah memang kalian ngak perduli kok sama bangsanya sendiri. Begini kok mau menyesejahterakan rakyatnya. Malah di pajakin gede rakyatnay bukan buat duitdari berbagai peluang. Swasta di genjet proyek di ambil BUMN. Sementara peluang banyak yang hilang, dan sudah tahunan lagi.gitu kok di bilang mikirin bangsa!. Wis ah saya males nerusin, emosi!. Maaf ya kalau ada yang kesel. Saya tutup ya. Bener khan ngak manfaat tulisan ini

Leave a comment